Artikel berikut bukan merupakan tulisan asli saya, artikel ini disadur dari buku karya Dr. Muhammad Riawan Amin, mantan Presiden Direktur Bank Muamalat periode 1998-2008 dengan judul Satanic Finance, Bikin Umat Miskin.
Kita selalu takjub pada trik-trik sulap ketika menonton acara pertunjukan magic show baik di televisi maupun melihatnya secara langsung. Trik-trik sulap memang mengundang decak kagum, ada yang mengandalkan kecepatan tangan, pengalih pikiran, penciptaan ilusi, trik mekanis peralatan dan trik-trik lainnya. Tetapi apakah anda tahu bahwa disekitar kita, terdapat trik-trik ilusi yang diatur sedemikian rupa agar kita tidak menyadari hal tersebut bahkan ikut terlibat didalamnya?.
Karena pembahasan kita tentang seputar kegiatan perekonomian, maka yang akan dibahas kali ini adalah salah satu dari sekian banyak ilusi yang terjadi pada dunia keuangan, yaitu instrumen interest atau bunga. Lebih spesifik lagi yaitu bunga bank. Berikut ini adalah gambaran yang sangat sederhana agar orang awam pun tahu kenapa bunga bank merupakan suatu ilusi.
=o0o=
Alkisah, pada suatu masa ada sebuah negara kecil yang baru terbentuk bernama Negara Utopia. Populasi penduduk negara tersebut hanya berjumlah 1000 orang, dimana para penduduknya saling menghormati, tolong menolong dan menghargai satu sama lain. Berdirilah sebuah Bank Pemerintah sebagai regulator dan sekaligus berfungsi sebagai Bank Umum. Sedangkan mata uang negara tersebut bernama Upiah disingkat Up. Pada awal tahun mulainya sistem pemerintahan, Pemerintah Utopia mulai mencetak uang kertas sebesar Up100 juta sebagai alat tukar yang sah untuk negara tersebut. Uang tersebut disalurkan melalui bank kepada masyarakat yang mau membuka usaha baik usaha perdagangan, jasa, pertanian maupun usaha-usaha lainnya.
Setiap debitur, dikenai bunga 10% dalam jangka waktu 1 tahun. Jika seorang debitur meminjam Up10 juta maka ketika jatuh tempo setelah 1 tahun, debitur tersebut harus membayar Up11 juta. Berarti, bisa dikatakan jumlah total uang menurut bank berjumlah Up110.000.000 (100 juta + bunga 10 juta). Belum lagi ada persyaratan lainnya yaitu jika terlambat membayar, setiap 30 hari keterlambatan akan dikenakan denda Up500 ribu. Perhatikan, jumlah uang riil yang beredar hanya Up100 juta.
Lalu bagaimanakah caranya para debitur membayar bunga tersebut?. Logikanya adalah tidak mungkin semua debitur mampu membayar utang termasuk bunganya, harus ada pihak yang default atau pailit. Maka munculah kegiatan survival of the fittest yaitu persaingan bisnis yang tidak sehat diantara penduduk negeri Utopia. Mereka saling menghancurkan dalam kegiatan berbisnis dikarenakan beban bunga yang harus mereka bayar. Penduduk negeri yang tadinya saling tolong menolong dan menghargai menjadi individualistik dengan hanya memikirkan dirinya sendiri karena terpicu untuk bertahan dalam persaingan bisnis.
Dalam persaingan ini, maka muncul korban yaitu orang-orang yang jatuh bangkrut karena tidak sanggup membayar utang beserta bunganya. Aset-aset mereka juga disita oleh pihak bank. Sementara pihak lain yang berhasil, tidak memperdulikan lagi nasib mereka bahkan mengeksploitasi energi mereka untuk mendukung kegiatan bisnis. Kemudian muncul resesi ekonomi dimana daya beli masyarakat rendah. Maka Pemerintah Utopia menurunkan suku bunga menjadi 5% dan mencetak lagi uang sebesar Up200 juta dan disalurkan kembali melalui bank kepada masyarakat.
Sekali lagi jumlah uang riil yang beredar berbeda dengan perhitungan bank dan hal ini terus berulang dilakukan oleh Negara Utopia pada tahun-tahun berikutnya. Naik dan turunnya suku bunga hanya untuk mengontrol inflasi yang terjadi, tetapi tidak menyelesaikan masalah-masalah yang lain bahkan menimbulkan masalah baru. Jika dilihat dari kondisi sosial, maka bunga ini juga menciptakan sistem terpeliharanya para pemilik modal yang selalu menang dan terpeliharanya tingkat kemiskinan. Seperti inilah gambaran sederhana perekonomian yang terjadi saat ini, namun lebih kompleks dan sitematis sehingga fakta ilusi bunga tertutupi. So, there is no real money for interest and it is one of the causes of economic instability.
Penerapan sistem bunga memang sungguh "kreatif", menciptakan dari yang tidak ada dan kemudian dipaksakan menjadi seakan-akan ada. Produk-produk perbankan saat ini berkembang dengan pesat dengan "kekreatifan ini". Contohnya terdapat sebuah produk yang amat sangat "kreatif", yaitu investment loan IDC (interest during construction). Biasanya fasilitas pinjaman investasi ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan plantation dan mining (tambang). Gambaran sederhananya seperti ini, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit mengajukan kredit untuk perkembangan usahanya kepada pihak bank. Kemudian bank memberikan fasilitas pinjaman Kredit Investasi dan juga sekaligus fasilitas IDC. Kredit Investasi berupa Rp100 miliar dengan bunga 12% per tahun dalam jangka waktu 2 tahun, berarti sama saja bunganya menjadi 0.5% perbulan. Sedangkan untuk IDC adalah fasilitas pinjaman dari bank dengan pinjaman maksimum Rp6 miliar dengan bunga 12% dengan jangka waktu 2 tahun.
Tetapi untuk IDC, sumber dananya tidak secara langsung dari bank, namun dari pembayaran bunga Kredit Investasi yang sebesar Rp100 miliar tadi. Jadi, beban bunga dari Kredit Investasi selama 12 bulan yaitu sebesar Rp6 miliar (Rp100 M x 0.5% x 12) menjadi fasilitas kredit IDC. Dari sebuah pinjaman pertama, menghasilkan bunga, lalu dari bunga tersebut dijadikan pokok pinjaman kedua, kemudian dari pinjaman kedua tercipta lagi bunga.
Dan dengan hanya meminjamkan 100 miliar, pihak bank dapat menciptakan modal sebesar 6 miliar dan pendapatan bunga plus denda jika ada keterlambatan membayar. Sungguh benar-benar "kreatif" bukan? Hal inilah yang membuat sektor moneter tidak seimbang dengan sektor riil, dimana sektor moneternya berkembang sangat pesat dikarenakan salah satu penyebabnya yaitu pengakuan bunga, sementara sektor riil jauh tertinggal di belakang.
Sebenarnya masih banyak lagi "kekreatifan" yang terjadi di dunia keuangan. Tetapi memang sistem keuangan yang diatur sedemikian rupa sehingga sistem bunga tidak tampak sebagai aktivitas "kezaliman", terlebih lagi pendidikan tentang bunga sudah didapat dari kebanyakan orang sejak kecil yaitu diajarkan menabung di bank agar mendapatkan keuntungan bunga, sehingga permasalahan bunga menjadi normal untuk kebanyakan orang. Walaupun ilusi bunga berhasil ditutupi oleh sistem keuangan yang kompleks tetapi dampak negatifnya tidak bisa disembunyikan yaitu menjadi penyebab krisis keuangan, sulitnya pengentasan kemiskinan bahkan terciptanya kemiskinan yang baru.
Seperti yang kita tahu bahwa menurut Teori Kuantitas, bertambahnya uang yang beredar maka diikuti dengan naiknya inflasi. Sedangkan menurut Fisher Equation, naiknya inflasi diikuti oleh naiknya tingkat bunga. Berarti, bisa dikatakan bahwa naiknya jumlah 1% uang, maka timbul inflasi 1%, untuk mengimbangi inflasi tingkat bunga juga dinaikkan sebesar 1%. Lalu apakah sudah selesai permasalahannya? tingkat bunga yang naik secara tidak langsung meningkatkan money supply dan memicu permintaan uang, maka jumlah uang pun ditambah, muncul lagi inflasi, dan tingkat bunga dinaikan kembali dan begitu seterusnya. Walaupun nanti adanya penurunan tingkat bunga, dikarenakan muncul permasalahan ekonomi lainnya akibat "kekreatifan" manusia dalam kegiatan ekonomi. Sistem ini memang dijaga keberlangsungannya walaupun terbukti sangat besar dampak negatifnya dikarenakan dengan eksisnya sistem berbasis bunga, terciptalah mekanisme penjajahan ekonomi dimana para pemilik modal (capital) yang selalu menang. Dan inilah salah satu bentuk ketamakan dan kerakusan manusia.
Dalam Islam sudah jelas, sistem bunga merupakan transkasi riba yang dilarang oleh Allah dan termasuk dosa besar. Tetapi anehnya, banyak orang Islam yang tidak mau tahu akan hal ini akibatnya sulit sekali melakukan "pemberantasan" sistem ini dikarenakan orang Islam sendiri ikut andil dalam suburnya sistem Riba di muka bumi. Padahal sudah jelas ancaman-ancaman Allah kepada orang yang memakan harta Riba. Dan sesungguhnya, adzab Allah sangatlah pedih.
Artikel asli ditulis oleh Dr. Muhammad Riawan Amin.
Sumber : http://ekonomiemas.hol.es/content/ilusi-bunga-antara-ada-dan-tiada